
BAB 1
Pagi ini, sayup-sayup aku mendengar lagu “Ku Kira Kau Rumah” dari speaker laptop teman kerja yang duduk di samping kiriku. Ah, itu memang kebiasaan Diva dari awal masuk kerja sampai saat ini. Kalau dengarkan lagu saat kerja males pake earphone. Jadi teman sekitarnya bisa mendengar. Pernah suatu kali Diva ditegur oleh teman senior, jawabannya selalu sama dan dijawab dengan enteng banget, “Biar berasa ada temannya, Pak”.
Aku sudah berulang kali mendengarkan lagu tersebut, dari yang awalnya tidak tahu hingga aku hafal lirik lagunya. Itu lagu favoritnya Diva. Tapi mengapa, hari ini saat aku mendengarkan lagu tersebut dan mendengarkan ucapan Diva, membuat hatiku sedih. Ada dalam bagian diri, yang merasa teriris-iris. Sakit tapi tak berdarah. Aku tiba-tiba merasa sendiri, aku tanpa teman. Yang kukira rumah ternyata hanya aku sewa.
Aku melirik ke arah jam tanganku, hari ini tanggal 14 Oktober, tepat 16 bulan yang lalu, aku menerima lamarannya mas Burhan. Suamiku yang sudah menikahiku selama satu tahun.
Mas Burhan bukanlah orang yang romantis, orangnya sedikit bicara namun sopan dan baik hatinya. Itu menurut pandanganku saat kali pertama aku mengenalnya. Kami dipertemukan di salah satu acara seminar bisnis. Kami berdua sama-sama mendapat mandat dari kantor untuk hadir. Kala itu, aku datang terlambat saat seminar. Aku kebingungan mencari kursi yang masih kosong. Ternyata aku berdiri di sampingnya mas Burhan. Dan sontak ia langsung berdiri, memberikan kursinya untukku, sementara iya memilih berpindah kursi paling depan yang ternyata masih kosong.
Dua hari di seminar yang sama, mampu membuatku memberikan no handphone ku padanya. Entah apa yang menjadi alasanku kala itu. Apakah karena aku merasa nyaman atau hanya sekedar membalas budi saja. Entahlah, yang aku ingat hanyalah tiga bulan setelah itu kami resmi memadu kasih menjadi sepasang kekasih.
Setahun pacaran, sepertinya membuat mas Burhan yakin untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Dan tepat hari ini, 16 bulan yang lalu, pagi hari sekitar pukul enam. Tiba-tiba rumahku yang biasa ribut masalah berebut kamar mandi, ataupun sekedar berebut selai untuk sarapan. Maklum saja, rumah tipe 72 yang penuh sesak dihuni oleh 2 lansia, 1 orang dewasa, 1 anak remaja dan 2 anak kembar yang berseragam merah putih. Berubah menjadi ribut yang lain. Keributan yang pertama datang dari papaku, orang yang paling kalem, pagi itu memanggil namaku dengan kencang dan berulang kali. Aku yang biasanya paling akhir meninggalkan rumah, karena jarak rumah ke kantor hanya sekitar 30 menit, mendadak turun dengan masih memakai piyama, lengkap dengan masker wajah dan rol poniku. Lalu yang kedua, mamaku. Ternyata beliau juga ikutan berteriak dengan suara sumbangnya, memanggil-manggil namaku. Menyuruhku untuk bergegas turun. Yang ketiga, si kembar Ana dan Ani, karena melihat mama papa berteriak mereka pun ikutan berteriak dan memanggil namaku bak artis papan atas. Dan yang membuatku lebih heran lagi saat aku turun tangga, aku melihat adikku lelaki satu-satunya, tiba-tiba berdiri menyambut ku sambil membawa handphone yang mengarah kepadaku.
“Dek, ada apa?”
“Lihat aja ‘ndiri.”
Aku melangkah menuju ruang tamu, aku melihat papa, mama, adik kembarku semua tersenyum sambil kompak meneriakkan “Buka pintu…..buka pintu”.
Krekkkkk…….pintu asli dari kayu jati bekas rumah kakek, aku buka perlahan-lahan.
“Ara, maukah kau menikah denganku?”
Aku melihat mas Burhan berlutut di hadapanku, memakai kemeja putih dibalut jas berwarna hitam. Rambutnya rapi dan wangi. Di tangan kirinya ada buket bunga dan tangan kanannya memegang cincin emas yang cantik. Dan terlihat manis di jariku saat ini.
Aku mengawali perjalanan pernikahan dengan penuh cinta dan penuh harap. Aku kira aku sudah menemukan rumah untuk pulang. Aku kira akhirnya aku punya teman hidup. Teman ngobrol, teman curhat, teman yang bersedia membuka telinganya untuk mendengarkan keluh kesahku. Aku orangnya yang butuh teman ngobrol. Sebelum menikah, aku selalu curhat ke mama. Aku pikir dengan menikah, maka aku akan punya teman curhat yang baru. Namun, ternyata tidak.
Aku tidak lagi bercerita tentang apapun kepada siapapun. Setiap aku membuka mulut untuk bercerita, bibirku selalu bergetar. Suaraku tiba-tiba mengecil, mengecil lalu menghilang. Pernah aku berpikir untuk bercerita ke Diva, saat dia sedang asyik menyanyikan lagu favoritnya. Aku hanya ingin mengeluarkan perasaanku lewat kata-kata, aku hanya ingin mengeluarkan saja, tanpa perlu didengar ataupun diberi solusi. Namun niat itu urung aku lakukan. Karena aku selalu ingat peristiwa seminggu setelah kami pulang dari Bali untuk bulan madu. Mas Burhan tiba-tiba marah, saat aku asyik bercerita panjang lebar, manakala ia baru saja berhasil menerobos kemacetan dari kantor ke rumah. Aku baru kali pertama melihat mas Burhan matanya melotot, suaranya meninggi dan jari telunjuknya mengarah kepadaku.
“Bisa diem gak! Banyak bacot. Berisik!!!!!”
Sejak hari itu, aku berubah. Aku yang dulunya banyak bicara, ceria, selalu berusaha membuat keadaan sekitar selalu penuh tawa. Sekarang menjadi diam, hati-hati jika akan berbicara, lebih banyak hidup dalam sunyi. Awalnya hanya dengan mas Burhan saja, namun lambat laun menjalar juga ke keluargaku, teman kantor bahkan ke diriku sendiri. Hingga hari ini, tiba-tiba saja aku membicarakan tentang diriku. Aku mengajak diriku bicara jauh ke dalam tentang hidupku terutama pernikahanku.
“Mbak Ara,……mbak Ara. Are you ok?”
Goyangan lembut Diva di bahuku membuyarkan perenunganku. Aku hanya membalas Diva dengan anggukan dan senyuman saja.
Aku memutuskan untuk menyudahi perenunganku hari ini. Aku memutuskan untuk fokus lanjut kerja. Dan saat aku hendak berdiri menuju ke kamar mandi untuk membersihkan riasanku yang berantakan karena airmataku. Tiba-tiba mataku tertuju pada coretanku di kertas HVS bekas.
………………berpisah atau bertahan.
Nit, 14 Okt’22