Jangan Tunggu Sampai Senja

BAB 2

“Gak pulang mbak Ara?”

“Ntar aja, kerjaan belum kelar nih.”

Seperti biasa Diva selalu menyapa saat ia pulang kantor. Dan baru saja aku tersadar, jika ternyata sudah tiga bulan ini, sepertinya aku enggan untuk segera pulang. Ingin rasanya berlama-lama diluar. Ingin rasanya sekali saja pulang terlambat.

Entahlah, apa yang sedang terjadi padaku. Sepertinya sekarang sudah semakin sesak dada ini. Sepertinya pengen banget teriak sekencang-kencangnya. Melepaskan penat yang entah sudah setebal apa menutupi dada ini. Namun sepertinya aku belum punya keberanian. Entah sampai kapan, aku berani.

…………..sayang, malam ini aku pulang malam ya. Paling sekitar jam sembilan aku usahakan sampai rumah. Diajak teman kantor takziah dulu. Jangan lupa makan malam ya. …….

Chat mas Burhan yang baru saja aku baca, sontak membuatku sedikit tersenyum dan muncul ide dalam pikiranku. Aku juga akan pulang malam.

Tapi kemana ya aku akan habiskan waktu. Aku kan gak biasa lembur. Kalo nunggu di kantor, ntar malah jadi gosip baru untuk trio lancip. Ehm, jadi mikir deh. Aku kan gak mau masalah pernikahanku ini jadi bahan candaan mereka. Aku yang biasa menyelesaikan hari dengan rasa malas, tiba-tiba sore ini otakku mau diajak berpikir keras. Pokoknya hari ini, sampai rumahnya malam, sebelum mas Burhan datang aku harus sudah di rumah. 

“Jangan tunggu sampai senja, Ara. Ayo pulang.”

Suara managerku membuyarkan lamunanku akan rencana malam ini.

“Iya, bu. Ini saya sedang mematikan laptop saya”. Jawabku spontan sambil merapikan meja, mematikan laptop, menenteng tas kerja dan keluar ruangan. 

Di Dalam lift, otakku kembali mengajak untuk berpikir lebih keras lagi. Mau kemana sisa hari ini, Ara?.

Aku yang sudah setahunan ini selalu pulang tepat waktu. Rute perjalanan tiap harinya hanyalah rumah dan kantor. Sedangkan tiap weekend, waktuku hanya diisi untuk mengunjungi orang tua, belanja mingguan, nonton film dirumah, beberes rumah atau yang agak beda aktivitasnya, jika dikantor mas Burhan ada acara family gathering. Itu pun  hanya setahun sekali saja. Semenjak menikah, aku tidak pernah dapat ijin untuk nongkrong di cafe. Tidak lagi boleh nonton di XXI. Aku yang hanya diberi ijin untuk belanja baju online, atau hanya jika mas Burhan mau mengantarku belanja di mall. Itu pun hanya dua kali dilakukannya, setelah aku merajuk selama seminggu. 

“Ngapain sih, belanja di mall. Macet kesananya. Belum lagi cari parkirnya susah. Mending beli baju di online saja. Gak pake ribet.” Itu jawaban mas Burhan yang masih aku ingat dengan jelas sampai saat ini. 

Lift tepat berhenti di lantai lobi. Keluar lift, aku bergegas mengambil hp ku untuk memesan ojek online. Aktivitas wajibku setiap berangkat dan pulang kantor adalah memesan ojek. Aku tidak lagi diijinkan mengendarai mobilku ke kantor. “Biar kamu gak capek sayang. Lagipula kita kan jadi hemat BBM.” kata itu yang selalu didengungkan tiap aku merajuk supaya dapat ijin untuk naik mobil ke kantor.  Namun, sebelum senja datang di hari ini, aku tidak memesan ojek online. Aku malah memilih melangkahkan kakiku untuk keluar gedung perkantoran berlantai 30 ini tanpa tahu apa rencanaku selanjutnya. Aku mempercepat langkah kakiku, sepertinya aku tidak ingin kehilangan satu detik pun waktu untuk bebas. Dan saat aku menghirup udara di luar gedung kantor, senyumku semakin mengembang. Aku merasakan angin menerpa kulitku, rambutku, wajahku bahkan hatiku. Aku bahagia.

Aku barusan berjalan 50 m dari tempat kerjaku, namun hatiku sangat gembira. Senyumku tidak pernah lepas dari bibirku. Kepalaku bolak-balik aku olengkan ke kanan dan ke kiri, sembari menikmati udara kebebasanku. Bahkan beberapa bagian tubuhku bereaksi sampai merinding. Langkah kakiku sangat ringan ,dadaku menjadi lega. Aku bebas mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Tanpa tekanan. Bahkan dalam diriku, tak hentinya aku selalu ucapkan, “Nikmati hidupmu, nikmati hidupmu Ara.”

Jangan tunggu sampai senja, Ara. Ayo bebaskan dirimu, raih kembali kebahagiaanmu. Jangan biarkan senja melihat lagi air mata kesendirian mu. Jangan lagi senja membuatmu merasa tertekan. Jangan biarkan senja memaksamu masuk dalam kegelapan. Jangan lagi biarkan dirimu menangis seorang diri dibalik bantal. Jangan lagi biarkan kebebasanmu hilang ditelan norma pernikahan. Ayo Ara, jangan biarkan senja berlalu tanpa senyummu.

Aku berjalan menyusuri trotoar lalu melewati jalanan depan ruko. Aku berjalan dengan penuh semangat. Sambil sesekali aku memperhatikan jalanan yang mulai penuh sesak. Aku, yang akhirnya memilih mengambil rute seperti yang biasa ojek online lakukan, menyusuri gang kecil untuk sekedar mempercepat arah tujuanku. Aku sudah tahu akan kemana aku menghabiskan sisa hari ini. Aku semakin mempercepat langkahku di gang yang hanya bisa dilewati dua motor saja. Namun, setelah aku kembali ke arah jalan besar, aku memutuskan untuk berhenti di depan minimarket. Aku mengambil hp ku, melihat apakah ada chat dari mas Burhan. Ah, ternyata tidak ada. Hanya ada chat dari teman seniorku saja, mengingatkan jika besok ada meeting pagi. Setelah aku membalas chat dari teman seniorku. Aku segera masuk ke minimarket tersebut. Berhenti sejenak, mendinginkan tubuh yang hampir basah oleh keringat. Aku meneguk satu botol minuman mineral yang aku ambil dari rak samping dekat kasir. Segera setelah aku bayar, aku bergegas keluar minimarket tersebut. Namun saat aku berada di depan pintu kaca, aku kembali mengambil hp ku. Aku memesan ojek online untuk menemaniku melanjutkan perjalananku. 

Jangan tunggu sampai senja, Ara. Jangan mau lagi kegelapan menyelimuti dirimu. Kalimat itu kembali terngiang di kepalaku. Aku menarik nafas panjang. Aku mengepalkan kedua tanganku. Aku berdoa sejenak untuk meminta kekuatanNya. “Aku mau bahagiaaaaaa…….” teriakku tanpa suara.

Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 20.55. Kurang 5 menit lagi, jika sesuai jadwal mas Burhan akan tiba. Malam itu, aku habiskan di atas tempat tidur dengan memeluk erat mamaku, sementara papaku hanya mengelus punggungku sambil diam seribu bahasa di sampingku. Sementara ketiga adikku hanya melihatku dari depan pintu kamar saja. Ya, aku memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuaku. Namun sebelumnya, aku sempatkan untuk pulang ke rumah kami untuk mengambil barang pribadiku, baju kerjaku, mengendarai lagi mobil kesayanganku dan menulis surat perpisahan untuk mas Burhan.

…………….Mas Burhan, aku sangat mencintaimu. Saking cintanya aku padamu, sampai aku sangat membenci diriku sendiri. Aku yang sudah lelah dengan pernikahan ini, namun selalu aku abaikan. Hingga hari ini, entah darimana tiba-tiba aku mendapat keberanian untuk mengatakan. Terima kasih untuk kursi yang kau berikan untukku saat kali pertama kita bertemu. Terima kasih untuk surprise lamaranmu yang membahagiakan keluargaku. Terima kasih sudah mengajakku ke pulau dewata saat bulan madu. Seminggu full aku bisa menikmati pantai dari pagi hingga malam hari. Terima kasih untuk kecupanmu yang tanpa henti saat kita di Bali. Terima kasih untuk kenangan indah yang sampai saat ini hinggap di memoriku. Dan sekarang aku ingin mengisi hidupku dengan kenangan indah yang lainnya, seorang diri. Tanpa mas Burhan. Terima kasih untuk perjumpaan kita. Maafkan aku, ketika aku menjadi istrimu, aku banyak melakukan kesalahan. Aku belum bisa menjadi istri yang baik. Maafkan Ara. 

Aku pamit ya mas……………

salam 

Ara

—————————————————————————————————————-

Nit,15 Okt’22

Berpisah atau Bertahan ?

BAB 1

Pagi ini, sayup-sayup aku mendengar lagu “Ku Kira Kau Rumah” dari speaker laptop teman kerja yang duduk di samping kiriku. Ah, itu memang kebiasaan Diva dari awal masuk kerja sampai saat ini. Kalau dengarkan lagu saat kerja males pake earphone. Jadi teman sekitarnya bisa  mendengar. Pernah suatu kali Diva ditegur oleh teman senior, jawabannya selalu sama dan dijawab dengan enteng banget, “Biar berasa ada temannya, Pak”. 

Aku sudah berulang kali mendengarkan lagu tersebut, dari yang awalnya tidak tahu hingga aku hafal lirik lagunya. Itu lagu favoritnya Diva. Tapi mengapa, hari ini saat aku mendengarkan lagu tersebut dan mendengarkan ucapan Diva, membuat hatiku sedih. Ada dalam bagian diri, yang merasa teriris-iris. Sakit tapi tak berdarah. Aku tiba-tiba merasa sendiri, aku tanpa teman. Yang kukira rumah ternyata hanya aku sewa.

Aku melirik ke arah jam tanganku, hari ini tanggal 14 Oktober, tepat 16 bulan yang lalu, aku menerima lamarannya mas Burhan. Suamiku yang sudah menikahiku selama satu tahun. 

Mas Burhan bukanlah orang yang romantis, orangnya sedikit bicara namun sopan dan baik hatinya. Itu menurut pandanganku saat kali pertama aku mengenalnya. Kami dipertemukan di salah satu acara seminar bisnis. Kami berdua sama-sama mendapat mandat dari kantor untuk hadir. Kala itu, aku datang terlambat saat seminar. Aku kebingungan mencari kursi yang masih kosong. Ternyata aku berdiri di sampingnya mas Burhan. Dan sontak ia langsung berdiri, memberikan kursinya untukku, sementara iya memilih berpindah kursi paling depan yang ternyata masih kosong.

Dua hari di seminar yang sama, mampu membuatku memberikan no handphone ku padanya. Entah apa yang menjadi alasanku kala itu. Apakah karena aku merasa nyaman atau hanya sekedar membalas budi saja. Entahlah, yang aku ingat hanyalah tiga bulan setelah itu kami resmi memadu kasih menjadi sepasang kekasih. 

Setahun pacaran, sepertinya membuat mas Burhan yakin untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Dan tepat hari ini, 16 bulan yang lalu, pagi hari sekitar pukul enam. Tiba-tiba rumahku yang biasa ribut masalah berebut kamar mandi, ataupun sekedar berebut selai untuk sarapan. Maklum saja, rumah tipe 72 yang penuh sesak dihuni oleh 2 lansia, 1 orang dewasa, 1 anak remaja dan 2 anak kembar yang berseragam merah putih. Berubah menjadi ribut yang lain. Keributan yang pertama datang dari papaku, orang yang paling kalem, pagi itu memanggil namaku dengan kencang dan berulang kali. Aku yang biasanya paling akhir meninggalkan rumah, karena jarak rumah ke kantor hanya sekitar 30 menit, mendadak turun dengan masih memakai piyama, lengkap dengan masker wajah dan rol poniku. Lalu yang kedua, mamaku. Ternyata beliau juga ikutan berteriak dengan suara sumbangnya, memanggil-manggil namaku. Menyuruhku untuk bergegas turun. Yang ketiga, si kembar  Ana dan Ani, karena melihat mama papa berteriak mereka pun ikutan berteriak dan memanggil namaku bak artis papan atas. Dan yang membuatku lebih heran lagi saat aku turun tangga, aku melihat adikku lelaki satu-satunya, tiba-tiba berdiri menyambut ku sambil membawa handphone yang mengarah kepadaku.

 “Dek, ada apa?”

“Lihat aja ‘ndiri.”

Aku melangkah menuju ruang tamu, aku melihat papa, mama, adik kembarku semua tersenyum sambil kompak meneriakkan “Buka pintu…..buka pintu”.

Krekkkkk…….pintu asli dari kayu jati bekas rumah kakek, aku buka perlahan-lahan. 

“Ara, maukah kau menikah denganku?”

Aku melihat mas Burhan berlutut di hadapanku, memakai kemeja putih dibalut jas berwarna hitam. Rambutnya rapi dan wangi. Di tangan kirinya ada buket bunga dan tangan kanannya memegang cincin emas yang cantik. Dan terlihat manis di jariku saat ini. 

Aku mengawali perjalanan pernikahan dengan penuh cinta dan penuh harap. Aku kira aku sudah menemukan rumah untuk pulang. Aku kira akhirnya aku punya teman hidup. Teman ngobrol, teman curhat, teman yang bersedia membuka telinganya untuk mendengarkan keluh kesahku. Aku orangnya yang butuh teman ngobrol. Sebelum menikah, aku selalu curhat ke mama. Aku pikir dengan menikah, maka aku akan punya teman curhat yang baru. Namun, ternyata tidak.

Aku tidak lagi bercerita tentang apapun kepada siapapun. Setiap aku membuka mulut untuk bercerita, bibirku selalu bergetar. Suaraku tiba-tiba mengecil, mengecil lalu menghilang. Pernah aku berpikir untuk bercerita ke Diva, saat dia sedang asyik menyanyikan lagu favoritnya. Aku hanya ingin mengeluarkan perasaanku lewat kata-kata, aku hanya ingin mengeluarkan saja, tanpa perlu didengar ataupun diberi solusi. Namun niat itu urung aku lakukan. Karena aku selalu ingat peristiwa seminggu setelah kami pulang dari Bali untuk bulan madu. Mas Burhan tiba-tiba marah, saat aku asyik bercerita panjang lebar, manakala ia baru saja berhasil menerobos kemacetan dari kantor ke rumah. Aku baru kali pertama melihat mas Burhan matanya melotot, suaranya meninggi dan jari telunjuknya mengarah kepadaku.

“Bisa diem gak! Banyak bacot. Berisik!!!!!”

Sejak hari itu, aku berubah. Aku yang dulunya banyak bicara, ceria, selalu berusaha membuat keadaan sekitar selalu penuh tawa. Sekarang menjadi diam, hati-hati jika akan berbicara, lebih banyak hidup dalam sunyi. Awalnya hanya dengan mas Burhan saja, namun lambat laun menjalar juga ke keluargaku, teman kantor bahkan ke diriku sendiri. Hingga hari ini, tiba-tiba saja aku membicarakan tentang diriku. Aku mengajak diriku bicara jauh ke dalam tentang hidupku terutama pernikahanku. 

“Mbak Ara,……mbak Ara. Are you ok?”

Goyangan lembut Diva di bahuku membuyarkan perenunganku. Aku hanya membalas Diva dengan anggukan dan senyuman saja.

Aku memutuskan untuk menyudahi perenunganku hari ini. Aku memutuskan untuk fokus lanjut kerja. Dan saat aku hendak berdiri menuju ke kamar mandi untuk membersihkan riasanku yang berantakan karena airmataku. Tiba-tiba mataku tertuju pada coretanku di kertas HVS bekas.

………………berpisah atau bertahan.

Nit, 14 Okt’22


Menyelamatkan pernikahan

menyelamatkan pernikahan

Menyelamatkan pernikahan bisa jadi merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Namun bisa juga merupakan hal yang tidak perlu untuk Anda melakukannya. Kenapa demikian??

Setiap orang memiliki sifatnya masing-masing, serta kondisi pernikahannya masing-masing. Itulah sebabnya setiap orang memiliki pemaknaan yang berbeda-beda tentang pernikahan. Tidak bisa disama ratakan. Meski demikian, setidaknya ada dua macam makna pernikahan dalam konteks ini.

Pertama adalah ada orang-orang yang merasa mendapatkan manfaat ataupun kebertumbuhan kejiwaan. Dia merasakan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Berbeda dengan saat sebelum menikah. Sehingga orang-orang ini cenderung mempertahankan pernikahannya. Dia akan berjuang agar pernikahannya tetap langgeng. Demi mendapatkan kebahagiaan.

Kedua adalah orang-orang yang merasa tidak mendapatkan manfaat ataupun kebahagiaan dalam pernikahannya. Kehidupannya semakin terpuruk setelah menikah. Dia merasa lebih bahagia saat sebelum menikah dari pada setelah menikah. Menurutnya rumah tangga hanyalah menambah beban hidupnya.

Kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Jadi hindari untuk membuat standar yang sama tentang hal ini.

Masokisme (secara umum berarti merasa bahagia ketika mengalami penderitaan) juga termasuk style seseorang mendapatkan kebahagiaan. Meskipun kebanyakan orang sulit untuk menalarnya, dan tergolong penyimpangan perilaku.

Langkah-langkah untuk menyelamatkan pernikahan

Dalam hal menyelamatkan pernikahan, ada baiknya dilakukan secara bersama-sama. Bukan hanya istri saja, atau suami saja. Seharusnya bersama-sama. Sehingga bisa saling mendukung dan lebih mudah menemukan titik kompromi. Namun jika tidak bisa dilakukan berdua, ya nggak papa. Berarti Anda berjuang sendiri. Bisa jadi akan ada hal-hal yang perlu pemakluman lebih.

Berikut ini adalah langkah-langkah untuk menyelamatkan pernikahan:

  1. Kenali dulu apakah Anda berjuang berdua atau sendirian. Sehingga Anda bisa mengatur energi dan memprediksi siapa saja yang bisa mendukung Anda.
  2. Temukan manfaat atau hal apa yang pantas Anda perjuangkan dalam pernikahan Anda. Bisa status, materi, masa depan anak, kebahagiaan orang tua, dan apapun saja yang menjadi alasan kuat kenapa Anda perlu menyelamatkan pernikahan.
  3. Lakukan introspeksi. Periksa kembali standar hubungan Anda dengan pasangan. Mungkin ada standar yang terlalu tinggi dan selama ini menjadi beban. Atau mungkin juga ada sifat serta perilaku Anda yang seringkali menjadi penyebab potensi perceraian. Semoga masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri.
  4. Fokuslah pada manfaat atau keuntungan yang Anda dapatkan jika pernikahan Anda tetap terjalin harmonis.
  5. Banyaklah mohon ampun dan berdoa pada Tuhan. Semoga Tuhan memberikan jodoh terbaik untuk Anda.

Informasi tentang layanan konsultasi pernikahan. Silahkan |klik disini|

Ada sebuah buku yang bisa membantu menyelamatkan pernikahan Anda. Silahkan |klik disini|

Kenapa Ada Suami-Istri Yang Bercerai?

Kenapa Ada Suami Istri Yang Bercerai?

Kenapa ada suami istri yang bercerai? Padahal mereka mempersiapkan pernikahan dengan penuh cinta. Serangkaian harapan besar telah mereka angankan saat memutuskan untuk menikah. Namun kenapa seiring waktu setelah menikah. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai? Jauh panggang daripada api. Jika memang akan bercerai, ngapain juga harus menikah?! Namun kenyataannya demikian. Berbagai fenomena yang akhirnya menjadi alasaan suami istri untuk bercerai.

Menurut pengamatan kami, berdasarkan observasi dan interview suami istri yang bercerai, atau setidaknya sudah berniat unutk bercerai. Alasan mengapa mereka memutuskan untuk bercerai pada umumnya adalah karena sudah tidak ada kecocokan. Baik dalam hal pemikiran, prinsip hidup, perilaku, dan berbagai hal lainnya.

Kapan muncul ketidak cocokan?

Jika memang demikian alasannya, wajar saja jika suami istri ingin berpisah. Namun yang menarik untuk diungkap lebih lanjut adalah, sejak kapan ketidak cocokan ini terjadi? Kemungkinan jawabannya adalah:

  1. Sejak awal mengenal (sebelum menikah) sebenarnya sudah tidak cocok.
  2. Setelah menikah baru muncul ketidak cocokan.

Jika sejak awal mengenal (sebelum menikah) sudah tidak cocok, kenapa meneruskan menikah?? Biasanya kondisi ini terjadi karena dua sejoli ini terbuai dengan harapan manis. Baik berupa janji manis dari pasangannya, atau pikiran yang terlalu positif dari diri sendiri. Misalnya muncul kalimat dalam pikiran “pasti suatu saat dia akan berubah lebih baik“. Padahal belum tentu demikian.

Jika setelah menikah baru muncul ketidak cocokan. Hal ini wajar terjadi jika pasangan tersebut tidak pernah mengenal sebelumnya. Baik melalui proses pacaran ataupun ta’aruf. Tahu-tahu dinikahkan begitu. Sehingga mereka baru saling mengenal setelah menikah. Wajar jika menemukan ketidak cocokan. Ibarat membeli kucing dalam karung.

Namun jika sebelumnya melalui proses pacaran atau ta’aruf, ini justru muncul pertanyaan. Pada usia pernikahan keberapa baru menyadari ketidak cocokan? Ada peristiwa apa saat itu? Pangkal ketidak cocokan ini benar-benar hal baru, atau bibit-bibitnya sebenarnya sudah ada sejak sebelum menikah? Secara sifat dan perilaku seseorang tidak bisa tiba-tiba terbentuk secara dadakan. Pasti ada proses panjang yang membentuknya. Dan bisa jadi pangkalnya sudah ada sejak sebelum menikah. Namun dua sejoli ini mengabaikannya.

Cara mencegah suami istri bercerai

Mencegah suami istri cerai sebenarnya pasangan sejoli bisa melakukan sejak dini. Yakni ketika sudah sepakat untuk menikah. Anda bisa melakukan langkah-langkah untuk saling mengenal dengan lebih konstruktif.

Kami, Kata Okta Kartika memiliki sebuah tools berupa eBook yang berisi tentang daftar pertanyaan yang bisa menjadi bahan diskusi untuk saling mengenal. eBook ini GRATIS untuk Anda yang membeli buku Berbohong Belum Tentu Bohong dari kami. Silahkan klik link ini untuk informasinya |KLIK|

Atau akan semakin mudah jika Anda melakukan konsultasi pranikah dengan konselor profesional seperti Kata Okta Kartika. Bagaimana caranya? Silahkan klik link ini untuk informasinya |KLIK|